Langit biru pekat dengan balutan awan putih jernih menghias langit kota Lanzhou. Nampak bukit-bukit tandus berdiri gagah tepat di belakang stasiun kereta. Jauh di ufuk timur, matahari telah menampakkan wajahnya. Sinarnya menghangatkan seluruh dataran China. Memberikan harapan bagi tiap-tiap insan yang tak pernah lelah mencari makna kehidupan yang sesungguhnya.
Prolog Pada Januari 2018 lalu, penulis berkesempatan untuk mengunjungi dua negara Indo-China (Asia Tenggara Kontinental) seorang diri selama 10 hari. Perjalanan darat yang cukup melelahkan namun banyak kejadian seru yang ditemui selama perjalanan. Rute perjalanannya adalah Jakarta-> Kuala Lumpur-> Siem Reap-> Phnom Penh- >Ho Chi Minh-> Kuala Lumpur-> Jakarta.
Siang itu terik matahari menyinari seluruh sisi Plawangan Sembalun. Suhu panas menyeruak di dalam tenda. Saya terbangun sekitar pukul 3 sore. Pak Haji sedang membereskan peralatan masak. Izzy dan Tama melipat sleeping bag. Alday, Mamed, dan Hafidz membereskan peralatan dan kerir masing-masing. Tanpa aba-aba, saya segera keluar tenda dan ikut membereskan peralatan yang berserakan di sekitar tenda. Pemandangan kaldera Gunung Rinjani terlihat sangat indah dari Plawangan Sembalun. Kami tak boleh berlama-lama. Pendakian harus segera dilanjutkan agar tiba di Sagara Anak tidak kemalaman.
Mendaki gunung memang candu. Setidaknya itulah yang saya rasakan ketika pertama kali mendaki Papandayan di awal tahun 2013. Selang dua bulan saya mendaki gunung lagi, kali ini di Jawa Tengah, Merbabu. Tepat empat bulan berikutnya, di bulan Agustus saya mendaki Gunung Semeru. Pada tahun 2015 pendakian berlanjut. Kali ini Gunung Gede yang saya cumbu di akhir bulan Februari. Gunung Merbabu kembali saya daki di bulan Juli, namun dengan jalur yang berbeda. Setelah Idul Fitri di tahun 2015, saya Alhamdulillah berkesempatan untuk mendaki gunung terindah di Asia Tenggara, Rinjani.
Pada pendakian kali ini, saya tidak sendiri. Saya memang tidak pernah sendirian kalau naik gunung. Minimal berempat paling tidak. Nah, kali ini tim kami ada enam orang. Semuanya lelaki muda yang suka wanita. Mari saya perkenalkan satu-satu. Mamed, kakak saya yang doyan jengkol. Alday dan Hafidz, dua kakak sepupu saya yang asli betawi. Izzy, teman waktu di pesantren dulu. Terakhir Tama, seorang teman asal Palembang yang baru lulus kuliah di Udayana.
Dalam postingan kali ini, saya ingin berbagi pengalaman singkat, lebih tepatnya catatan perjalanan ke Pulau Komodo, Flores pada bulan Januari di tahun 2014 lalu . Tanah yang saya impikan. Perjalanan yang sangat melelahkan fisik, jiwa, dan raga. Namun luar biasa seru dan tentunya sangat menyenangkan.
Hari ke-1, Jakarta – Lombok
Perjalanan dimulai dari Bandara Soekarno Hatta menuju Lombok International Airport, lalu lanjut menggunakan damri ke Kota Mataram. Sesampainya di Pool Damri Kota Mataram, kami masih harus naik taxi lagi dengan ongkos sekitar Rp 25.000 untuk sampai persis di depan Oka Homestay, hotel yang yang sudah dibooking sebelumnya. Alamatnya di Jl Repatmaya 5 Mataram Lombok, Indonesia. Harga per malamnya Rp 100.000 untuk kami bertiga. Bersih, strategis, dan cukup murah.
Setelah memasukkan kerir ke kamar, kami segera meluncur keluar untuk mencari makanan khas Lombok, apalagi kalau bukan ayam taliwang. Malam itu kami juga belanja beberapa keperluan logistik untuk perjalanan besok. Setelah semua persiapan beres, kami kemudian mengistirahatkan badan karena besok perjalanan akan sangat melelahkan.
Penginapan di Iboih ini rata-rata berbahan dasar kayu dan berdiri di sisi tebing-tebing yang langsung menghadap laut. Cukup banyak penginapan di sini, harganya juga bervariasi. Penginapan kami sendiri berada di paling ujung. Harganya paling murah di antara yang lain. Namun pemandangan di sini bisa dibilang paling juara. Terdapat balkon dengan kursi-kursi kayu yang bisa digunakan tiduran atau sekadar duduk-duduk santai. Pemandangannya langsung menghadap laut Sabang. Sore hari di tempat ini, kami duduk ditemani segelas jus, sambil melihat matahari terbenam dan kelelawar-kelelawar berterbangan. Suasananya begitu damai. Sabang resmi memikat hati saya.
Beberapa spot lain yang biasa dikunjungi di Pulau Sabang adalah Tugu 0 Kilometer dan Pantai Gapang. Jarak tempuh menuju Tugu 0 Kilometer kurang lebih menghabiskan 30 menit berkendara motor dari Iboih. Sepanjang jalan menuju ke sana, banyak pohon-pohon besar di kanan dan kiri.
Perjalanan roadtrip Medan-Aceh-Sabang ini sudah direncanakan dari beberapa bulan sebelumnya. Mulai dari hunting tiket pesawat murah, riset destinasi yang akan dikunjungi, dan tentunya itenerary beserta budget pengeluaran. Segalanya cukup dipersiapkan dengan matang. Untuk trip kali ini saya melakukannya bersama seorang sahabat yang berasal dari Palembang.
Perjalanan awal di mulai dari bandara Soekarno-Hatta menuju bandara Kualanamu Medan menggunakan maskapai AirAsia. Tiket promo seharga kurang lebih Rp 250.000 menjadi mahar yang harus dibayar. Cukup murah untuk kantong mahasiswa seperti saya. Sampai di bandara Kualanamu, perjalanan dilanjutkan ke kota Medan menggunakan damri.